Hai kalian semua
masih ingat sama gue? Gue winky dan gue cinta banget sama Indonesia.kenapa gue
cinta banget sama Indonesia? nah gue mau cerita sekarang kenapa gue cinta
banget sama negeri ini. ini tentang gue yang udah dibukain jalan pikirinnya
sama tuhan, kalau negara ini indah bgt buat kita syukuri. Makasih udah mau
baca.
>>>
Hari
ini rencananya gue akan bertemu pak Mus, pejuang veteran yang kemarin gue temui
di warung makan bu Fatimah. Kita berkenalan tanpa sengaja saat gue menjatuhkan
air minumnya. Tak seperti bapak-bapak temperamental lainnya, dia nggak marah
sama gue. Dia malah ngajakin gue makan satu meja sama dia. Lalu kita saling
berkenalan dan membincang-bincang. Setelah sekian lama berbincang dia ngasi gue
alamat rumahnya diselebaran kertas dengan alasan mau ngundang gue makan
dirumahnya pagi ini. Sangat tidak keberatan buat nerima ajakannnya karena
menurut gue, pak mus adalah orang yang baik.
Gue segera mandi dan bersiap
untuk pergi kerumah pak mus. Gue pun langsung meminta izin kepada mama buat
menemui pak mus
“ma, winky ke
rumah pak mus dulu ya ma. Dia mengundang winky makan kerumahnya hari ini.”
“jam berapa
pulangnya? Mama mau pakai mobil kamu ke rumah temen mama”
“oh iya ma.
Secepatnya winky pulang.”
“baiklah.. hati
hati ya”
“siap ma! Winky
pergi dulu ma. Assalamualaikum”
“waalaikum salam”
Gue
langsung bergegas mencari alamat pak mus, karena sebenarnya gue udah janjian
bakal datang jam 8. Tapi sekarang udah jam 9. Di kertas yang pak mus beri,
tertulis kelurahan Kutilang jalan Pahlawan nomor 19. Dengan
memamfaatkan waktu yang ada, gue langsung menelusuri jalan tersebut. Jalan
tersebut amat sepi tak berpenghuni,bahkan sedikit sekali pejalan kaki yang
terlihat. Mobil dan motor juga sepi sekali yang lalu lalang di jalan itu.
Setelah hampir
setengah jam mencari, akhirnya gue menuin rumah nomor 19. Dengan segera gue
keluar dari mobil..
“assalamualaikum,
pak mus” gue lambaikan tangan kepada pak mus yang sedang bersantai di halaman
rumahnya.
“waalaikum salam”
jawab pak mus.
“hei… kamu nak,
kirain saya kamu nggak jadi datang” ia terkejut
“saya akan datang
kok pak mus. Saya kan udah janji sama bapak. “
“kamu anaknya
tepat janji ya ternyata.”
“bisa aja nih pak
mus”
“ayo masuk nak,
bapak udah bikin masakan buat kita sarapan. Yuk masuk yuk” dia mempersilakan
gue masuk kerumahnya.
Rumah
pak mus sangatlah sederhana, bahkan rumah ini tidak selayaknya rumah yang
didapat seorang pejuang veteran yang telah susah payah memperjuangkan negara
ini. warna hijau yang dicatkan ke dinding rumah nyaris tidak terlihat lagi,
tidak ada televise, air condisioner, kulkas, dan dispenser. Yang ada hanyalah
sebuah radio sebagai hiburan pak mus dan sebuah kompor untuk memasak. Sebuah
pemandangan yang sangat unik. Berbeda sekali dengan rumah gue yang sangat
nyaman untuk dihuni, jika butuh apa apa tinggal gue panggil mbok yem. Tidak
pernah sekalipun gue merasa kesepian tinggal dirumah.
“inilah rumah
saya. Sederhana. sepi sekali bukan?” Tanya pak mus
“iya pak, maaf
pak, istri dan anak pak mus dimana?”
“Anak saya
tinggal bersama istri dan anaknya di luar kota. Sedangkan istri saya sudah
meninggal sejak lima tahun yang lalu. ”
“maaf pak, saya
mengingatkan bapak kembali dengan beliau.”
“tidak apa-apa
nak. Ayo dimakan makanan buatan saya ini” dia menyodorkan sepiring nasi goreng
yang ia buat sendiri
“enak juga buatan
pak mus. Kanapa tidak jadi koki aja pak?” gue berusaha menetralkan suasana.
“saya lebih
senang jadi pejuang veteran nak HAHAHAHA” tawanya terbahak-bahak
“bagaimana cerita
pak mus bisa menjadi pejuang veteran?”
“dulu ayah saya
yang mengajak saya untuk berperang melawan Belanda. Kami sepakat buat merebut
Indonesia, tetapi sayang sekali ayah saya meninggal tertembak saat berjuang di
tanah Sulawesi.”
“terus pak? Nasib
bapak gimana?”
“nanti saya
cerita lebih lanjut, setelah kita makan ya”
“oh iya pak”
Kami
pun langsung menyantap habis nasi goreng ala pak mus ini.
Setelah
makanan itu habis pak mus ngajakin gue buat berjalan-jalan mengutari taman yang
ada di depan gang pahlawan itu.
Taman
itu tampak lusuh tidak terawat lagi. Bekas air mancur yang ditempel tepat
ditengah tengah taman itu hanya tinggal setengah dari bangkai semennya saja.
Airnya tidak lagi mengalir. Rumput yang harusnya dipotong setiap dua bulan
sekali sekarang benar benar telah menjadi seperti rawa rawa di hutan belantara.
Tidak ada lagi kursi yang bisa dinikmati bersama dengan udara segar di pagi dan
sore hari. kini aura sebuah taman itu sudah tidak terpancar lagi.
“nak.. ini
dulunya taman yang selalu para veteran jadikan tempat bersantai. Adem sekali
disini dulunya.”
“kok sekarang
bisa jadi seperti ini pak? Emang pengurus taman pada kemana?” gue kepo
“tidak ada lagi
yang mau mengurus taman ini, biaya buat pembangunan gang in saja belum bisa
kita dapat apalagi buat taman ini. dulu kami yang mengelola taman ini sendiri”
“oh gitu pak. Iya
gang ini tampak benar benar tidak terurus lagi pak”
“kamu lihat nak,
pohon yang diatas sana?” dia menunjung pohon sebuah pohon besar tepat di ujung
taman tersebut
“iya pak”
“pohon inilah
yang menjadi saksi bisu perjuangan kami. Kesusahan kami dalam merebut wilayah
jajahan ini. pohon itu yang melihat betapa tragisnya satu persatu dari kami
gugur saat melawan penjajah. Dan pada akhirnya pohon ini juga yang melihat
kejayaan kami saat berhasil merebut wilayah jajahan ini”
Gue
bener bener terkesima dengan cerita pak Mus, dia menceritakan banyak hal
tentang pohon itu. pak mus dan teman teman seperjuangannya dulu sering kali
bersantai dibawah rindangnya pohon tersebut sambil menceritakan kembali betapa
susahnya perjuangan mereka saat merebut wilayah jajahan ini. pak mus juga
berkata, ia bahagia sekali pernah bisa ikut menjadi bagian dari pejuang
veteran. namun seiring berjalannya waktu teman teman yang ia cintai itu
meninggalkan dia, tidak ada lagi yang wajah wajah bahagia yang bisa ia lihat.
“berbangga hatilah buat semua orang
yang tau bahwa kebahagian itu tentang kebersamaan nak, bukan tentang materi” ia
menepuk-nepuk pundak gue sambil menghapus air matanya.
gue hanya bisa tersenyum dan malu
dengan diri sendiri, selama ini gue hanya mengandalkan harta untuk mendapatkan
kebahagian tersebut. dimanjakan dengan setumpuk uang didepan mata. Berbeda
dengan dengan pak mus disini yang hidup sederhana, tetapi bisa bahagia.
Setelah sekian
lama berbincang-bincang dengan pak mus. Ringtone handphone gue berbunyi, mama
menyuruh pulang secepatnya.
“pak, maaf pak
saya harus pulang secepatnya, karena ibu saya mau memakai kedaraan saya. Maaf
pak sebelumnya saya harus pergi.”
“oh iya nak
silahkan. Kalau ada waktu datang lagi ya nak”
“iya pak,
isyaAllah. Saya permisi dulu. mari pak, assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
Gue pun langsung
bergegas meninggalkan pak mus.
Keesokan
harinya gue datang kembali kerumah pak mus. Hari ini rencananya gue akan
mengajak pak mus pergi keliling kota. ia pernah berkata, jika ada waktu luang,
ia ingin sekali diajak berjalan jalan mengelilingi kota melihat bagaimana kota
yang ia rebut kala itu, kini telah berkembang dengan pesatnya. Maklumlah rumah
pak mus letaknya lumayan jauh dari pusat kota. gue akan mengabulkan
keinginannya.
“gimana pak, siap
berangkat” sambil gue bukakan pintu mobil.
“siap nak” dia
tersenyum lebar
Dia mengajak gue
untuk melihat tempat tempat bersejarah yang ada di Jakarta.
“jakarta dulu
tidak semacet ini.gedung gedung pencakar langit juga tidak sebanyak ini dulunya”
dia menjelaskan bagaimana keadaan kota dimasa lalu.
“oh begitu ya pak
mus”
“bahkan dulu
jembatan yang kita lewati ini belum menjadi tempat tinggal”
“dulu tidak
separah ini ya pak?”
“iya, dulu kita
aman aman saja, tidak ada macet, tidak sepenuh ini dulu manusianya fasilitas
fasilitas negara tidak serusak ini dulunya ”
“tapi saya heran
pak dengan bapak, kenapa pak mus tidak pernah mau protes tentang fasilitas yang
seharusnya bapak dapat karena telah memperjuangkan Indonesia ini pak”
“nak.. sebelumnya
saya dan teman-teman yang lain sudah pernah coba kirim surat dengan presiden.
Hanya saja surat itu tidak pernah dbalas.”
“kenapa tidak mau
berdemo saja pak?”
“HAHA nak… kami
semua sudah tua, tidak banyak lagi tenaga kami buat protes sana sini kepada
pemerintah. Buat berjalan saja kami sudah tdak kuat, apalagi mau mengayuh
sepeda sampai ke kota. Rasanya sudah tidak mungkin. Lagi pula kami iklas nak,
iklas memperjuangkan negara ini dengan mengorbankan seluruh jiwa kami. Yang
iklas itu tidak perlu di balas bukan?”
“ya sih pak, Cuma
harusnya pemerintah sadar dan membalas semua jerih payah pak mus dan teman
teman bapak.”
“nak, ini bukan
tentang apa yang bisa negara beri kepada kita, tetapi tentang apa yang bisa
kita beri kepada negara”
“kenapa masih aja
bapak bela negeri ini? padahal isinya hanya kuroptor, orang-orang jahat.”
“karena saya
cinta sama negeri ini, bukan sama orang-orang yang jahat yang ada di negeri
ini. saya dapat amanat dari tuhan buat jaga negeri ini, buat mencintai negeri
ini. hanya diberi amanat itu saja. Saya tidak pernah dikasi amanat untuk
menghukum orang orang jahat di negeri ini. biar tuhan sajalah yang balas. Saya
nggak pantas membalas perbuatan mereka.”
gue hanya bisa
terdiam memandang pria lusuh yang duduk disebelah gue, pak mus. Pak mus tak
pernah mengharapkan balasan apapun. Dia juga tak ambil pusing sama apa yang
telah orang-orang jahat lakukan kepada negeri ini. dia berpesan kalau nantinya
gue jadi pejabat negara, gue benar benar harus jujur dan amanat. Karena itu
saja yang akan bisa memperbaiki semua keadaan, dimulai dari satu orang pejabat
yang jujur dan menularkan kejujurannya kesemua orang. Pak mus bukan hanya orang
baik, tapi dia manusia terbaik yang pernah gue temui selama ini. dia selalu
bersyukur dengan semua yang ada dihidupnya. dan tempat terakhir yang kita
kunjungi adalah makam pahlawan. Pertama kalinya gue melihat pak mus menangis di
depan sebuah makam. Ia hikmat melantunkan satu persatu panjatan doa dipusaran
makam teman-temannya. Lagi lagi pak mus mengajarkan gue banyak hal hari ini.
Setelah selesai ke makam, ia meminta gue buat mengantarkannya pulang.
“saya antarkan
sampai disini aja ya pak, nggak bisa mampir kerumah bapak.”
“lah kenapa nak?”
“tidak apa apa pak,
saya ada janji dengan teman saya”
“oh iya nak,
silahkan.”
“pak sepertinya
saya akan kemari lagi sekitar tanggal dua puluhan pak, saya mau ada acara tour
satu sekolahan pak”
“oh iya nak,
tidak apa apa. Saya juga ada janji mau ngumpul lagi sama teman teman saya
tanggal segitu.”
“oh gitu ya pak?
Kalau tanggal dua puluh tiga bapak sudah pulang?”
“iya nak, mungkin
tanggal segitu saya sudah pulang. Coba saja kemari untuk memastikannya”
“oke deh pak”
“makasih ya nak,
udah mau bawa bapak keliling kota.”
“iya pak
sama-sama. Saya permisi dulu pak. Assalamualikum”
“waalaikum salam”
gue buru-buru
berangkat kerumah catra karena ada janji mau kerja kelompok. Hari itu terlewat
begitu saja dengan semua nasihat pak mus yang masih gue pegang.
***
Hari ini tanggal dua puluh tiga, gue
kembali lagi teringat dengan janji menemui pak mus dirumahnya. Gue memutuskan
untuk pergi kerumah pak mus. Untungnya alamat pak mus masih gue simpen. Karena
sudah hampir dua minggu tdak bertemu biasanya gue selalu melupakan alamat rumah
orang. Gue langsung pergi kerumah pak mus.
“assalamualikum pak” gue ketuk pintu
rumah pak mus. Ada yang berbeda dengan halaman rumah pak mus, biasanya kursi
yang ada dihalaman rumah sekarang sudah tidak tampak lagi. “Kayaknya pak mus
belum pulang kerumah deh” pikir gue dalem hati
Berulang kali gue
coba mengetuk pintu pak mus, tapi tak ada jawaban sama sekali. akhirnya gue
memutuskan untuk menanyakan keberadaan pak mus dengan tetangga sebelahnya.
“permisi pak, mau numpang tanya, pak
mus dimana ya pak?”
“iya, loh, kamu tidak tahu pak mus
dimana?”
“katanya dia mau berkumpul dengan teman
temannya tanggal dua puluhan. Tapi saya tidak tahu pak mus sekarang sudah
pulang atau belum”
“pak mus udah meninggal nak, sekitar
seminggu yang lalu”
“innalillahi, yang benar pak?”
“iya nak,ia meninggal karena penyakit
kanker hati yang ia derita”
Air mata gue langsung refleks keluar begitu saja. Pak mus tak
pernah bilang kalau ia sakit, bahkan saat dua hari pertemuan singkat kita, ia
tak pernah sedikitpun mengeluh kesakitan.
“beliau dikuburkan diamana pak?”
“di makam pahlawan”
“oh terima kasih pak”
Gue langsung bergegas ke makam
pahlawan. Iya. terlihat jelas makam pak mus yang masih basah, masih penuh
dengan bunga. Ini ternyata maksud pak mus berkumpul bersama teman-temannya. Ini
juga ternyata yang dimaksud ia akan pulang. gue menangis di pusaran makam pak mus.
Baru saja tiga hari kita berjumpa, tapi rasanya dia telah mengajariku banyak
hal tentang hidup ini, tentang kebahagiaan, tentang keserhanaan, tentang arti
sesungguhnya dari sebuah keinklasan dan yang terpenting dia mengajari tentang
bagaimana mencintai negara ini, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar