Kamis, 26 Desember 2013

Belajar dari Pak Mus

Hai kalian semua masih ingat sama gue? Gue winky dan gue cinta banget sama Indonesia.kenapa gue cinta banget sama Indonesia? nah gue mau cerita sekarang kenapa gue cinta banget sama negeri ini. ini tentang gue yang udah dibukain jalan pikirinnya sama tuhan, kalau negara ini indah bgt buat kita syukuri. Makasih udah mau baca.
>>> 
Hari ini rencananya gue akan bertemu pak Mus, pejuang veteran yang kemarin gue temui di warung makan bu Fatimah. Kita berkenalan tanpa sengaja saat gue menjatuhkan air minumnya. Tak seperti bapak-bapak temperamental lainnya, dia nggak marah sama gue. Dia malah ngajakin gue makan satu meja sama dia. Lalu kita saling berkenalan dan membincang-bincang. Setelah sekian lama berbincang dia ngasi gue alamat rumahnya diselebaran kertas dengan alasan mau ngundang gue makan dirumahnya pagi ini. Sangat tidak keberatan buat nerima ajakannnya karena menurut gue, pak mus adalah orang yang baik.
                Gue segera mandi dan bersiap untuk pergi kerumah pak mus. Gue pun langsung meminta izin kepada mama buat menemui pak mus
“ma, winky ke rumah pak mus dulu ya ma. Dia mengundang winky makan kerumahnya hari ini.”
“jam berapa pulangnya? Mama mau pakai mobil kamu ke rumah temen mama”
“oh iya ma. Secepatnya winky pulang.”
“baiklah.. hati hati ya”
“siap ma! Winky pergi dulu ma. Assalamualaikum”
“waalaikum salam”
Gue langsung bergegas mencari alamat pak mus, karena sebenarnya gue udah janjian bakal datang jam 8. Tapi sekarang udah jam 9. Di kertas yang pak mus beri, tertulis kelurahan Kutilang jalan Pahlawan  nomor 19. Dengan memamfaatkan waktu yang ada, gue langsung menelusuri jalan tersebut. Jalan tersebut amat sepi tak berpenghuni,bahkan sedikit sekali pejalan kaki yang terlihat. Mobil dan motor juga sepi sekali yang lalu lalang di jalan itu.
Setelah hampir setengah jam mencari, akhirnya gue menuin rumah nomor 19. Dengan segera gue keluar dari mobil..
“assalamualaikum, pak mus” gue lambaikan tangan kepada pak mus yang sedang bersantai di halaman rumahnya.
“waalaikum salam” jawab pak mus.  
“hei… kamu nak, kirain saya kamu nggak jadi datang” ia terkejut
“saya akan datang kok pak mus. Saya kan udah janji sama bapak.  “
“kamu anaknya tepat janji ya ternyata.”
“bisa aja nih pak mus”
“ayo masuk nak, bapak udah bikin masakan buat kita sarapan. Yuk masuk yuk” dia mempersilakan gue masuk kerumahnya.
Rumah pak mus sangatlah sederhana, bahkan rumah ini tidak selayaknya rumah yang didapat seorang pejuang veteran yang telah susah payah memperjuangkan negara ini. warna hijau yang dicatkan ke dinding rumah nyaris tidak terlihat lagi, tidak ada televise, air condisioner, kulkas, dan dispenser. Yang ada hanyalah sebuah radio sebagai hiburan pak mus dan sebuah kompor untuk memasak. Sebuah pemandangan yang sangat unik. Berbeda sekali dengan rumah gue yang sangat nyaman untuk dihuni, jika butuh apa apa tinggal gue panggil mbok yem. Tidak pernah sekalipun gue merasa kesepian tinggal dirumah.
“inilah rumah saya. Sederhana. sepi sekali bukan?” Tanya pak mus
“iya pak, maaf pak, istri dan anak pak mus dimana?”
“Anak saya tinggal bersama istri dan anaknya di luar kota. Sedangkan istri saya sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu.  ”
“maaf pak, saya mengingatkan bapak kembali dengan beliau.”
“tidak apa-apa nak. Ayo dimakan makanan buatan saya ini” dia menyodorkan sepiring nasi goreng yang ia buat sendiri
“enak juga buatan pak mus. Kanapa tidak jadi koki aja pak?” gue berusaha menetralkan suasana.
“saya lebih senang jadi pejuang veteran nak HAHAHAHA” tawanya terbahak-bahak
“bagaimana cerita pak mus bisa menjadi pejuang veteran?”
“dulu ayah saya yang mengajak saya untuk berperang melawan Belanda. Kami sepakat buat merebut Indonesia, tetapi sayang sekali ayah saya meninggal tertembak saat berjuang di tanah Sulawesi.”
“terus pak? Nasib bapak gimana?”
“nanti saya cerita lebih lanjut, setelah kita makan ya”
“oh iya pak”
Kami pun langsung menyantap habis nasi goreng ala pak mus ini.
Setelah makanan itu habis pak mus ngajakin gue buat berjalan-jalan mengutari taman yang ada di depan gang pahlawan itu.
Taman itu tampak lusuh tidak terawat lagi. Bekas air mancur yang ditempel tepat ditengah tengah taman itu hanya tinggal setengah dari bangkai semennya saja. Airnya tidak lagi mengalir. Rumput yang harusnya dipotong setiap dua bulan sekali sekarang benar benar telah menjadi seperti rawa rawa di hutan belantara. Tidak ada lagi kursi yang bisa dinikmati bersama dengan udara segar di pagi dan sore hari. kini aura sebuah taman itu sudah tidak terpancar lagi.
“nak.. ini dulunya taman yang selalu para veteran jadikan tempat bersantai. Adem sekali disini dulunya.”
“kok sekarang bisa jadi seperti ini pak? Emang pengurus taman pada kemana?” gue kepo
“tidak ada lagi yang mau mengurus taman ini, biaya buat pembangunan gang in saja belum bisa kita dapat apalagi buat taman ini. dulu kami yang mengelola taman ini sendiri”
“oh gitu pak. Iya gang ini tampak benar benar tidak terurus lagi pak”
“kamu lihat nak, pohon yang diatas sana?” dia menunjung pohon sebuah pohon besar tepat di ujung taman tersebut
“iya pak”
“pohon inilah yang menjadi saksi bisu perjuangan kami. Kesusahan kami dalam merebut wilayah jajahan ini. pohon itu yang melihat betapa tragisnya satu persatu dari kami gugur saat melawan penjajah. Dan pada akhirnya pohon ini juga yang melihat kejayaan kami saat berhasil merebut wilayah jajahan ini”
Gue bener bener terkesima dengan cerita pak Mus, dia menceritakan banyak hal tentang pohon itu. pak mus dan teman teman seperjuangannya dulu sering kali bersantai dibawah rindangnya pohon tersebut sambil menceritakan kembali betapa susahnya perjuangan mereka saat merebut wilayah jajahan ini. pak mus juga berkata, ia bahagia sekali pernah bisa ikut menjadi bagian dari pejuang veteran. namun seiring berjalannya waktu teman teman yang ia cintai itu meninggalkan dia, tidak ada lagi yang wajah wajah bahagia yang bisa ia lihat.
              “berbangga hatilah buat semua orang yang tau bahwa kebahagian itu tentang kebersamaan nak, bukan tentang materi” ia menepuk-nepuk pundak gue sambil menghapus air matanya.
              gue hanya bisa tersenyum dan malu dengan diri sendiri, selama ini gue hanya mengandalkan harta untuk mendapatkan kebahagian tersebut. dimanjakan dengan setumpuk uang didepan mata. Berbeda dengan dengan pak mus disini yang hidup sederhana, tetapi bisa bahagia.  
Setelah sekian lama berbincang-bincang dengan pak mus. Ringtone handphone gue berbunyi, mama menyuruh pulang secepatnya.
“pak, maaf pak saya harus pulang secepatnya, karena ibu saya mau memakai kedaraan saya. Maaf pak sebelumnya saya harus pergi.”
“oh iya nak silahkan. Kalau ada waktu datang lagi ya nak”
“iya pak, isyaAllah. Saya permisi dulu. mari pak, assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
Gue pun langsung bergegas meninggalkan pak mus.
Keesokan harinya gue datang kembali kerumah pak mus. Hari ini rencananya gue akan mengajak pak mus pergi keliling kota. ia pernah berkata, jika ada waktu luang, ia ingin sekali diajak berjalan jalan mengelilingi kota melihat bagaimana kota yang ia rebut kala itu, kini telah berkembang dengan pesatnya. Maklumlah rumah pak mus letaknya lumayan jauh dari pusat kota. gue akan mengabulkan keinginannya.  
“gimana pak, siap berangkat” sambil gue bukakan pintu mobil.
“siap nak” dia tersenyum lebar
Dia mengajak gue untuk melihat tempat tempat bersejarah yang ada di Jakarta.
“jakarta dulu tidak semacet ini.gedung gedung pencakar langit juga tidak sebanyak ini dulunya” dia menjelaskan bagaimana keadaan kota dimasa lalu.
“oh begitu ya pak mus”
“bahkan dulu jembatan yang kita lewati ini belum menjadi tempat tinggal”
“dulu tidak separah ini ya pak?”
“iya, dulu kita aman aman saja, tidak ada macet, tidak sepenuh ini dulu manusianya fasilitas fasilitas negara tidak serusak ini dulunya ”
“tapi saya heran pak dengan bapak, kenapa pak mus tidak pernah mau protes tentang fasilitas yang seharusnya bapak dapat karena telah memperjuangkan Indonesia ini pak”
“nak.. sebelumnya saya dan teman-teman yang lain sudah pernah coba kirim surat dengan presiden. Hanya saja surat itu tidak pernah dbalas.”
“kenapa tidak mau berdemo saja pak?”
“HAHA nak… kami semua sudah tua, tidak banyak lagi tenaga kami buat protes sana sini kepada pemerintah. Buat berjalan saja kami sudah tdak kuat, apalagi mau mengayuh sepeda sampai ke kota. Rasanya sudah tidak mungkin. Lagi pula kami iklas nak, iklas memperjuangkan negara ini dengan mengorbankan seluruh jiwa kami. Yang iklas itu tidak perlu di balas bukan?”
“ya sih pak, Cuma harusnya pemerintah sadar dan membalas semua jerih payah pak mus dan teman teman bapak.”
“nak, ini bukan tentang apa yang bisa negara beri kepada kita, tetapi tentang apa yang bisa kita beri kepada negara”
“kenapa masih aja bapak bela negeri ini? padahal isinya hanya kuroptor, orang-orang jahat.”
“karena saya cinta sama negeri ini, bukan sama orang-orang yang jahat yang ada di negeri ini. saya dapat amanat dari tuhan buat jaga negeri ini, buat mencintai negeri ini. hanya diberi amanat itu saja. Saya tidak pernah dikasi amanat untuk menghukum orang orang jahat di negeri ini. biar tuhan sajalah yang balas. Saya nggak pantas membalas perbuatan mereka.”
gue hanya bisa terdiam memandang pria lusuh yang duduk disebelah gue, pak mus. Pak mus tak pernah mengharapkan balasan apapun. Dia juga tak ambil pusing sama apa yang telah orang-orang jahat lakukan kepada negeri ini. dia berpesan kalau nantinya gue jadi pejabat negara, gue benar benar harus jujur dan amanat. Karena itu saja yang akan bisa memperbaiki semua keadaan, dimulai dari satu orang pejabat yang jujur dan menularkan kejujurannya kesemua orang. Pak mus bukan hanya orang baik, tapi dia manusia terbaik yang pernah gue temui selama ini. dia selalu bersyukur dengan semua yang ada dihidupnya. dan tempat terakhir yang kita kunjungi adalah makam pahlawan. Pertama kalinya gue melihat pak mus menangis di depan sebuah makam. Ia hikmat melantunkan satu persatu panjatan doa dipusaran makam teman-temannya. Lagi lagi pak mus mengajarkan gue banyak hal hari ini. Setelah selesai ke makam, ia meminta gue buat mengantarkannya pulang.
“saya antarkan sampai disini aja ya pak, nggak bisa mampir kerumah bapak.”
“lah kenapa nak?”
“tidak apa apa pak, saya ada janji dengan teman saya”
“oh iya nak, silahkan.”
“pak sepertinya saya akan kemari lagi sekitar tanggal dua puluhan pak, saya mau ada acara tour satu sekolahan pak”
“oh iya nak, tidak apa apa. Saya juga ada janji mau ngumpul lagi sama teman teman saya tanggal segitu.”
“oh gitu ya pak? Kalau tanggal dua puluh tiga bapak sudah pulang?”
“iya nak, mungkin tanggal segitu saya sudah pulang. Coba saja kemari untuk memastikannya”
“oke deh pak”
“makasih ya nak, udah mau bawa bapak keliling kota.”
“iya pak sama-sama. Saya permisi dulu pak. Assalamualikum”
“waalaikum salam”
gue buru-buru berangkat kerumah catra karena ada janji mau kerja kelompok. Hari itu terlewat begitu saja dengan semua nasihat pak mus yang masih gue pegang. 
***
              Hari ini tanggal dua puluh tiga, gue kembali lagi teringat dengan janji menemui pak mus dirumahnya. Gue memutuskan untuk pergi kerumah pak mus. Untungnya alamat pak mus masih gue simpen. Karena sudah hampir dua minggu tdak bertemu biasanya gue selalu melupakan alamat rumah orang. Gue langsung pergi kerumah pak mus.
              “assalamualikum pak” gue ketuk pintu rumah pak mus. Ada yang berbeda dengan halaman rumah pak mus, biasanya kursi yang ada dihalaman rumah sekarang sudah tidak tampak lagi. “Kayaknya pak mus belum pulang kerumah deh” pikir gue dalem hati
Berulang kali gue coba mengetuk pintu pak mus, tapi tak ada jawaban sama sekali. akhirnya gue memutuskan untuk menanyakan keberadaan pak mus dengan tetangga sebelahnya.
              “permisi pak, mau numpang tanya, pak mus dimana ya pak?”
              “iya, loh, kamu tidak tahu pak mus dimana?”
              “katanya dia mau berkumpul dengan teman temannya tanggal dua puluhan. Tapi saya tidak tahu pak mus sekarang sudah pulang atau belum”
              “pak mus udah meninggal nak, sekitar seminggu yang lalu”
              “innalillahi, yang benar pak?”
              “iya nak,ia meninggal karena penyakit kanker hati yang ia derita”
              Air mata gue langsung refleks keluar begitu saja. Pak mus tak pernah bilang kalau ia sakit, bahkan saat dua hari pertemuan singkat kita, ia tak pernah sedikitpun mengeluh kesakitan.
              “beliau dikuburkan diamana pak?”
              “di makam pahlawan”
              “oh terima kasih pak” 
        Gue langsung bergegas ke makam pahlawan. Iya. terlihat jelas makam pak mus yang masih basah, masih penuh dengan bunga. Ini ternyata maksud pak mus berkumpul bersama teman-temannya. Ini juga ternyata yang dimaksud ia akan pulang. gue menangis di pusaran makam pak mus. Baru saja tiga hari kita berjumpa, tapi rasanya dia telah mengajariku banyak hal tentang hidup ini, tentang kebahagiaan, tentang keserhanaan, tentang arti sesungguhnya dari sebuah keinklasan dan yang terpenting dia mengajari tentang bagaimana mencintai negara ini, Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar